Partai Gelora, Identitas dan Inovasi

Oleh: Donny Syofyan
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)

Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) telah resmi mendapatkan SK dari Kemenkumham pada bulan lalu (19/5/2020). Penyerahan SK Badan Hukum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, dari Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, kepada Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, M. Anis Matta telah berlangsung Selasa (2/6) yang berlangsung secara virtual.

Dengan SK ini maka secara resmi Gelora diakui sebagai partai politik oleh negara. Pengesahan ini bukan sekadar pengakuan tentang legalitas Gelora sebagai sebuah entitas politik. Tak kalah krusial bahwa pengesahan ini sejatinya memperlihatkan kesiagaan dan keseriusan sumber daya manusia paratai Gelora dalam menjalani proses dan pelayanan politik.

Seperti diketahui, para pendiri dan pemimpin partai Gelora adalah mantan pemimpin Partai Keadilan Sejahtera (PKS) seperti Anis Matta, Fahri Hamzah, Mahfudz Siddik, Ahmad Riyaldi, dan Triwisaksana. Pun demikian di DPW maupun DPD, mayoritas petingginya merupakan eks kader PKS.

Pengesahan ini hanyalah koma, yang menghajatkan sambungan kata perjalanan dan kalimat perjuangan berikutnya yang panjang, berliku dan sarat hal-hal tak terduga. Tantangan besar partai Gelora setidaknya terbuhul pada dua kata kunci: identitas dan inovasi.

Identitas: Game Changer
Orang-orang semisal Anis Matta atau Fahri Hamzah sudah melekat kuat dengan citra dan kekhasan PKS. Ketegasan Fahri Hamzah identik dengan sikap non-kompromis PKS, sementara ide-ide bernas seorang Anis Matta mewakili arus besar suara cerdas kalangan muda dan pikiran kritis para teknokrat yang menjadi komponen besar PKS. Hijrahnya mereka dan tokoh-tokoh sentral lain dari PKS tidak serta merta menjadikan mereka mengalami detachment dari partai yang membesarkan dan dibesarkan mereka.

Di sinilah perangkapnya. Hengkangnya mereka tidak secara langsung membesarkan mereka (baca: Gelora) dan mengecilkan PKS meski Anis Matta cs (dikenal sebagai Fraksi Kesejahteraan) lebih popular dan beroleh lebih simpati ketimbang kubu Shohibul Iman cs (mewakili Fraksi Keadilan) karena terstigma di saat masih dalam rahim partai yang sama.

Takdir perpecahan tidak memberikan bonus kemenangan bagi kubu manapun. Namun perpisahan boleh jadi melapangkan jalan bagi kondisi baru yang lebih baik sepanjang seseorang mampu menjadi ‘game changer.’ Masyarakat akan tersentak ketika seorang tokoh mengubah cara mereka memandang dunia dan cara mereka hidup di dalamnya.
Secara definitif, game changer adalah seseorang yang mempengaruhi perubahan signifikan dalam cara melakukan atau memikirkan sesuatu saat ini. Dalam konteks ini, para politisi Partai Gelora perlu mereposisi diri dan peran mereka secara distingtif yang membedakan citra dan profil mereka sebagai eks PKS.

Sejauh ini, terobosan luar biasa yang secara distingtif menegaskan perbedaan mereka dari citra lama adalah keputusan menjadikan Pancasila sebagai azaz partai, sekalipun partai ini, seperti diungkapkan Anis Matta, adalah partai Islam nasionalis.

Namun ini saja tidak cukup. Sebagai partai start-up, Partai Gelora perlu mengakselerasi diri menggaet mereka yang hidup di dunia maya; netizen, kids zaman now atau kaum milenial. Persoalan aksi dan keberpihakan kepada rakyat agaknya bukanlah isu besar mengingat rekam jejak para politisi partai ini di masa lalu. Dalam konteks ini, Anis Matta jauh-jauh hari sudah memilih jalur media sosial demi memomentumkan kehadiran Partai Gelora dengan gagasan-gagasan besarnya.

Preferensi pemanfaatan media sosial jauh lebih dibutuhkan ketimbang bergantung pada media arus utama. Kita bisa belajar kepada Ustadz Abdul Somad (UAS). Popularitas UAS tak bisa dilepaskan karena ia berdakwah lewat media sosial alih-alih bergantung kepada stasiun TV yang punya segenap protokol dan kepentingan. Banyak yang dulunya sebagai media darling tiba-tiba ‘jatuh tapai’ karena kehilangan panggung di media arus utama yang mengikuti selera pasar. Kasus Aa Gym adalah contoh yang terang.

Gagasan-gagasan besar Anis Matta, sebagai seorang oratur ulung dan penulis produktif dengan karya-karya best-seller, perlu disampaikan secara popular lewat platform Youtube, Instagram, Facebook atau Twitter. Di Amerika Serikat, sebagai contoh, peran dakwah lewat media sosial sukses dilakoni oleh Suhaib Webb, sehingga beliau digelari ustadz Twitter.

Politik Inovasi

Sebuah negara dan peradaban tertentu eksis dan bertahan karena berhasil melewati dua siklus utama; ancaman (threat) dan rasa tidak aman (insecurity). Demikian juga dengan sebuah entitas politik bernama parpol. Tanpa adanya kesadaran politik terhadap pentingnya inovasi, ia hanya menambah daftar panjang parpol muda yang melonjak di start awal namun menyusut menjelang ujung perjalanan; layu sebelum berkembang.

Bagi sebuah partai baru, ancaman ini bisa berupa prilaku bullying dari mereka yang sinis dan skpetis terhadap kehadiran Partai Gelora, baik dari kalangan internal PKS yang menganggap partai ini tak lebih barisan sakit hati maupun dari khalayak yang alergi dengan kehadiran parpol sebagai buntut perpecahan. Adapun terkait rasa tidak aman, ia bisa berwujud tarik menarik antara harapan dan keraguan untuk terlibat dalam pusaran aksi politik berikutnya, semisal pilkada.

Maka inovasi yang perlu dihadirkan secara politik oleh Partai Gelora adalah transformasi kepemimpinan Islam egaliter-demokratis. Partai Gelora perlu secara serius dan berani keluar dari cangkang kepemimpinan ala PKS yang amat top-down. Dengan kredo sami’na wa atha’na, PKS mampu menjaga militansi kader yang utuh dan loyalitas yang prima. Namun ini tidak produktif karena menyingkirkan egalitarianisme arus bawah.

Keseriusan untuk menghadirkan wajah baru kepemimpinan Islam-nasionalis dengan membangun dan memperdalam partisipasi kader dalam pengambilan keputusan dan aksi di lapangan. Namun perlu dicatat bahwa partisipasi ini harus tetap menjaga integritas kader atau anggota sehingga memberi ruang untuk berinovasi. Di sinilah akan ada keseimbangan antara keterbukaan dan keterkendalian, antara kebebasan dan tanggung jawab.

Partai Gelora akan menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan bila isu identitas dan inovasi benar-benar bukan hanya terkomunikasikan secara utuh kepada anggota atau kadernya tapi juga menyebarkan ke dalam pikiran-pikiran yang tercerahkan akan kebutuhan untuk ruang politik yang lebih terbuka dan demokratis. Bila identitas membuat seseorang memiliki kepercayaan diri yang tinggi, inovasi membuat orang lebih rendah hati, membumi atau down-to-earth karena tak ada hal-hal mapan melainkan perubahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *