Oleh: Erizal
Berdirinya Partai Gelora Indonesia itu sendiri adalah akibat melawan arus, bukan mengikuti arus. Melawan ketidakpastian baik dalam skala internasional, nasional, maupun skala lokal. Termasuk juga, skala individual dan keluarga.
Jadi, wajar kalau setelah berdiri, partai ini lebih berani melawan arus, daripada mengikuti arus. Ini karena memang ada yang diperjuangkan untuk kemaslahatan yang lebih besar. Bukan asal lawan tanpa konsep. Pokoknya, asal beda.
Lihatlah, partai-partai di DPR setuju saja, agar masa jabatan kepala desa dijadikan 9 tahun. Karena, ini tahun politik dan partai-partai perlu dukungan Kades. Minimal, tak menghambat. Tapi, Partai Gelora berani menolak dan tegas.
Publik mendukung karena penambahan masa jabatan itu bukanlah solusi bagi kemakmuran desa. Justru bisa menjadi sumber konflik baru. Menambah anggaran desa, peningkatan SDM, Pusat yang tak setengah hati, itulah solusinya.
Saat muncul wacana kembali ke sistem pemilu proporsional tertutup, Partai Gelora langsung menolak. Padahal, ada kebaikannya bagi Partai Gelora. Setelah itu, baru ditolak 8 parpol DPR. Publik tahu, sebenarnya tidak semua menolak.
Soal PT nol persen, kembali Pemilu dipisah jika tetap pakai PT-PT-an, sudah lebih awal ditolak Partai Gelora, bahkan maju ke judicial review ke MK. Partai Gelora selalu di depan. Tak sekadar menjadi pak turut layaknya partai baru lainnya.
Ke depan, entah apa lagi yang hendak dilawan Partai Gelora? Tak aneh, dalam usianya yang baru seumur jagung, diisukan macam-macam. Anehnya, isu itu bukan mengkerdilkan Partai Gelora, justru terkesan seperti membesarkan.